1

كيف نتعامل مع الجماعة - 1


Intima’ Jama’i


هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ


“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q.S. Al-Hajj: 78)

Mewujudkan intima jama’i tidak dengan cara permohonan untuk masuk sebagai anggota, bukan juga terwujud kerana menyertai program-program jama’ah dan menghadiri berbagai pertemuan sahaja. Esensi intima jama’i harus mencakupi dimensi yang melampaui batas-batas formaliti dan bentuk-bentuk lahiriyah. Sehingga komitmen terhadap jama’ah akan semakin memantapkan kedalaman iman, kekuatan intima kepada Islam dan intima kepada struktur (tanzhimi).

I. Ab’adul Intima (dimensi intima jama’i) -

- Bu’dun aqidi : Secara akidah seorang ikhwah harus intima terhadap perjalanan dan risalah Islam yang diembannya (intima mashiri wa risali). Akidahnya harus lurus dan benar-benar sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunah. Keterikatan ini akan melenyapkan ketergantungan pada faktor figur / peribadi terhadap orang tertentu yang menyebabkan aktiviti dakwah hanya termotivasi oleh faktor akidah, oleh intimanya dengan Islam dan oleh ketundukan pada perintah Allah. (Q.S. Al-Fath: 10). Intima kepada jama’ah berarti juga pengerahan seluruh kekuatan diri untuk dakwah, menundukkan kepentingan individual untuk kepentingan Islam, bukan sebaliknya. إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ (Sesungguhnya nilai amal perbuatan itu tergantung dari niat masing-masing).

- Bu’dun fikri (dimensi pemikiran) : Pemikiran ikhwah harus terikat dengan fikrah Islam secara total dan prinsip(Islami mabda wa ushuli). aktivi dakwah akan menjadi orang yang lain dari yang lain. Dari segi akhlak, pergaulan, pandangan dan pemikiran. Mereka harus hidup dalam kerangka nilai Islam total. Menyesuaikan diri dengan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

- Bu’dun tanzhimi (dimensi struktural) : Dua hal sebelum ini, mungkin saja dimiliki oleh seorang yang tidak intima' kepada jamaah. Sering kita mendapati seorang yang idealis, kuat Islamnya tetapi tidak memiliki bu’dun tanzhimi. Dimensi ini mengharuskan seorang ikhwah keluar dari jerat sikap ego dan individualisme, kemudian melebur dalam kepentingan jama’ah. Intimanya tidak temporal, terus intima' dengan apapun kondisi jama’i. Seorang raja dari kabilah Ghassan mencuba merayu Ka’ab bin Malik ra. Ketika diboikot oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Tapi surat rayuan itu justru dikeronyokkan dan dibakar.

- As-Sam’u wat tha’ah : timbangannya adalah ketika menerima tugas yang yukhalif mashalih fard (berlawanan dengan kepentingan peribadi). Inilah yang disebut husnul indhibath (disiplin yang baik). Taat dalam masalah yang memang sesuai selera dan kehendak itu biasa. Tetapi yang sulit bagaimana mengukuhkan taat dalam kondisi yang berlawanan dengan pendapat dan pandangan pribadi.

Wujud lain dalam husnul indhibath adalah bahwa iltizam tidak hanya dengan perintah, tapi hanya dengan isyarat sekalipun sudah paham. Lughatu dzaki wal hakim al-isyarah (Bahasa orang pandai cukup dengan isyarat). Innal labiba bil isyarati yafhamu (Sesungguhnya orang yang pandai itu paham dengan isyarat).

II. Muqtadhayatul intima’-

Wala aqidi, loyal terhadap akidah. Mewujudkannya melalui:

- Al-isti’la, terlepas dari ikatan-ikatan duniawi sebagaimana tersebut dalam surat At-Taubah: 24.

قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”

Sebahagian ulama tafsir menjabarkan erti kata اءَابَاء bukan hanya bapa dalam hubungan keakraban, tetapi termasuk dalam erti ketua, bos, atasan dan lain sebagainya. Kata َأَبْنَاء juga bukan terbatas anak dalam keluarga, tetapi juga bawahan, anak buah dan sebagainya. Imam Syahid, pada suatu hari raya meninggalkan anaknya, Saiful Islam yang sedang menderita sakit demam untuk pergi menunaikan kewajiban dakwah. Isterinya sudah meminta beliau untuk menunda kepergiannya. Imam Syahid berlalu sambil melantunkan firman Allah surat

At-Taubah ayat 24.


Tajarrud (totalitas). Tajarrud bukan berarti tafarrugh (kosong dan meninggalkan semua aktiviti kecuali dakwah saja. Esensi ruang lingkup tajarrud tercakup dalam huraian berikut:

1. Tajaruud fikri atau mulazamatul fikrah. Ikatan pemikiran nilai Islam harus melekat total dalam diri ikhwah. Salah satu penyebab kehancuran umat adalah kerana mereka justru mengambil solusi hasil infiltrasi atau barang import dari sumber non-Islam, imitasi tidak original, bukan asli. Kerana palsu itu tidak tahan lama, seperti ginjal atau jantung yang dicangkukkan pada tubuh manusia. Meski tubuh menerima tapi paling hanya dalam jangka waktu yang pendek. Itupun dengan perasaan menderita atau penuh siksaan. Untuk kemudian lemah dan mati. Ikhwah adalah penyangga fikrah islamiyah yang bertanggung jawab menyebarkan dan mewariskan kepada generasi umat.


2. Tajarrud ruhi atau totalitas menjaga kebersihan hati dari segala keinginan yang kotor dan cinta-cita yang menyimpang. Ikhwah harus ikhlas dalam mengemban dan memperjuangkan fikrah Islam.


3. Al-insyighal bima tathlubuhud da’wah. Menyibukkan diri dengan segenap tuntutan dakwah. Dakwah menjadi obsesinya di setiap aktiviti.


4. Wadh’u nafsihi alatan fa’alah lid da’wah. Berupaya memfungsikan diri sebagai bagian yang bermanfaat bagi dakwah. Ikhwah harus berupaya menjadi anggota yang tidak tumpul, tetapi tajam, sehingga kebiasaannya dapat difungsikan untuk kepentingan dakwah. Menerima wazhifah, harus optimal .

5. Wadh’u nafsihi, usariyah am fardiyah fi mashlahatid dak’wah. Meletakkan diri, baik keluarga atau pribadi untuk kepentingan dakwah. Bekorban dengan segala sesuatu baik yang murah atau yang mahal. Tadhhiyah yang paling berat untuk kita sementara ini adalah mengorbankan waktu istirahat.


6. Syu’ur bil ma’uliyah ‘alad da’wah. Menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap dakwah. Masing-masing ikhwah harus merasakan bahwa dirinya adalah mas’ul. Sehingga tidak ada yang mengatakan bahwa satu bidang tertentu bukan urusan saya. Sa’id Hawa mengatakan bahawa bila jama’ah menderita kerugian dari satu orang, maka akibatnya akan menimpa seluruhnya. Kerana itu pembahagian tugas pun merupakan tanggung jawab bersama.


7. Ishlahu nafsihi wa da’watu ghairihi. Memperbaiki diri dan menyeru orang lain. Tingkat dai dapat mempengaruhi orang lain adalah sebagaimana ia dapat menguasai dirinya sendiri.

- Tha’atullah wa rasulihi

Ketaatan yang teratur dan disiplin, tidak tergantung keinginan. Beda taat dalam disiplin Islam dan thaghut. Taat dalam Islam dibangun di atas ilmu dan bashirah, bukan taat buta. Tingkat ketaatan seseorang sesuai dengan tingkat pemahaman dan wawasan. Setiap ikhwah harus berupaya menambah ilmu dan memperluas wawasan. Rasul saw. berdoa, “Rabbi zidni ‘ilma”. Taat pada Allah dan Rasul dapat dipelihara dan tercermin dalam amal jama’i. Dengan menumbuhkan sikap husnul jundiyah dan mas’uliyah. Sikap keprajuritan dan tanggung jawab yang baik. Rincian sikap ini adalah sebagai berikut:


1. As-Syu’ur bi annal ‘amala fii ayyi maufiqin ‘ibadah wa qurabah. Merasakan bahwa bagaimanapun pekerjaan dalam satu posisi bernilai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Dalam posisi apapun, tanggung jawab yang diberikan harus dirasakan sebagai ibadah, sehingga bisa dilaksanakan dengan baik. Seorang ikhwah pernah dipenjara puluhan tahun, ia menyadari bahwa kondisinya saat itu adalah dalam rangka dakwah dan taqarrub, maka dalam rentang waktu itu ia menghafal Al-Quran, berkebun dan hasil kebun ikhwah di penjara dapat meringankan krisis ekonomi di Mesir saat itu.


2. Dawamul isti’dad. Selalu siap siaga. Rumah amilin adalah ibarat barak-barak dakwah. Kapan pun diseru, mereka segera bangkit dari barak dan siap melakukan tugas. Sahabat Hanzhalah mendapat julukan ghasilul malaikah (yang dimandikan malaikat), lantaran saat mobilisasi jihad diumumkan ia masih bersama istri barunya kemudian berangkat jihad dan syahid dalam kondisi junub. Sekarang tubuhnya didapati basah oleh para malaikat.


3. Taqdirul mas’ul ramzan lil wahdati wal quwwah. Menghormati mas’ul sebagai simbol persatuan dan kekuatan. Memelihara sikap hormat terhadap mas’ul dan semua rekan dakwah. Dalam satu peperangan, satu orang prajurit kehilangan tempat airnya. Melihat hal tersebut seluruh pasukan sibuk mencarikan tempat air itu di sungai. Musuh kaget menyaksikan persatuan yang demikian kokoh. Temannya kehilangan tempat air saja demikian, apalagi bila temannya terbunuh. Pernah pula ada seorang ikhwah yang ditunjuk sebagai mas’ul merasa ada bawahannya yang lebih pandai dari dirinya. Ia meminta agar ikhwah yang lebih pandailah yang lebih layak menjabat sebagai mas’ul, namun ikhwah tersebut menolak. Ketika masalah ini sampai kepada Imam Syahid, beliau mengatakan, “Tetaplah Anda pada posisi mas’ul, kalau Anda berbuat salah nanti orang tersebut yang akan membenarkan Anda.” Coba kalau dia menjadi mas’ul lalu melakukan kesalahan siapa yang akan membetulkannya?


4. I’tibar mauqi’ihi tsughratan bin tsugharil Islam. Menganggap posisinya adalah salah satu sari perbatasan Islam secara keseluruhan yang harus dipertahankan. Ringkasnya menanamkan rasa tanggung jawab yang dalam terhadap keberadaan diri di mana saja. Jangan sampai Islam mendapat keburukan dari posisinya. Pekerjaannya bagaimanapun harus bermanfaat atau bila ihmal (menyepelekan) bererti kerugian bagi Islam.

-Ta’awun

Ta’awun dapat terwujud dengan sikap-sikap:

1. Takaful, saling menanggung beban kolektif antara qiyadah dan junud (prajurit). Tak ada potensi yang dianggap kecil dan diremehkan.

2. Tarahum. Sikap ini juga perlu ditumbuhkan. Pemisahan sikap seorang muslim dengan muslim yang lain, seperti satu tubuh. Bila ada anggota yang sakit, maka seluruh tubuh gelisah dan tak dapat tidur. Setiap ikhwah harus mengetahui dan menyadari tugas dan kewajiban ikhwah lainnya. Jadi tidak ada yang merasa beban tertumpuk pada dirinya saja. Perasaan seperti ini penting, kata Sayyid Quthb, orang yang merasakan kebersamaan dalam shaff akan terbebas dari beban-beban batin. Merasakan bahwa alam semesta itu adalah junud, semua alam membantu.

3. Talahum, sedarah sedaging.

Ketiga unsur sikap ini dilakukan dalam rangka ada’ul wajib (pelaksanaan kewajiban) dan takhfiful a’ba (meringankan beban) sesama ikhwah.


-Tanashuh. Agama itu tegak dengan nasihat. Yang paling perlukan nasihat adalah yang berada dalam posisi mas’ulin. Dalam hadits dikatakan, An-nashihah li aimmatil muslimin wa ‘ammatihim. Semua ikhwah adalah mas’ul, sebab dampak kesalahan mas’ulin akan menyeluruh. Untuk proses tanashuh memerlukan:

1. Al-Ikhlash mutabadil, keikhlasan dari dua belah pihak. Dalam sebuah hadis disebutkan,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat. Kami bertanya (para sahabat), “Untuk siapa? Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam.” Tunaikan nasihat dengan cara yang paling baik dan terimalah seluruhnya. Khalifah Umar pernah ditegur oleh rakyatnya, “Ya Umar ittaqillah”. Umar berkata, “Laa khaira fiikum An la taquluha wala khaira fiina in lan nasma’ha. (Tidak ada kebaikan bila kalian tidak mengatakan hal ini dan tidak ada kebaikan bila kami tidak mau mendengarnya). Memberi nasihat juga harus dengan hikmah (bijak), maksudnya diatur bahasa penyampaiannya, dipilih waktunya, lihat salurannya atau jalurnya, barangkali lebih tepat disampaikan lewat si A.

2. Sirriyah. Nasihat juga baiknya disampaikan tidak vulgar di depan orang lain. Kata seorang ulama, “man wa’azha akhahu sirriyah faqad nahahahu wa zanahu wa man wa’azha ‘alaniyah faqad fadhahahu wa syanahu.“ (Siapa yang menasihati saudaranya dengan rahasia, ia sungguh telah menasihatinya dan siapa yang menasihati di depan khalayak bererti ia menghina dan mencacinya). Memberi nasihat juga tidak harus segera. Bisa dengan didiamkan dahulu, mungkin sahaja orang tersebut akan menyedari kesalahannya sendiri. Seperti orang yang diubati sendiri.

- Tabadul hubbi fillah

1. Itsar. Saling menjalin rasa cinta karena Allah. Perwujudannya yang paling tinggi adalah itsar. Menurut Iman Ghazali dikutip oleh Sa’id Hawa bahwa itsar itu ada tiga tingkatan. Yang paling rendah adalah menganggap hak saudara kita sebagaimana hak budak, kalau ada lebihan itu haknya. Kedua adalah menganggapnya sederajat dan sama dengan dirinya sendiri. Memenuhi kebutuhan ikhwah sebagaimana memenuhi kebutuhan sendiri. Dan ketiga yang paling tinggi adalah menempatkan kepentingan saudara kita di atas kepentingan sendiri. Seperti yang terjadi dalam perang Tabuk. Tiga sahabat meninggal kehausan karena mementingkan saudaranya. Ini sulit sekali, tapi inilah bentuk persaudaraan yang dilakukan Rasulullah saw. di Madinah. Dalam perang, masing-masing ikhwah ingin menggantikan saudaranya. Ada ikhwah yang telah berkeluarga dijatuhi hukuman mati, ikhwah yang masih bujang ingin menggantikannya. Alasannya bila ia mati, ia tidak meninggalkan siap-siapa, sedangkan bila ikhwah yang telah berkeluarga mati, ia nanti akan meninggalkan istri dan anak-anak yang perlu dipelihara.

2. I’tibarul akh aula min nafsihi. Menganggap ikhwah lebih tinggi kepentingannya dari dirinya. Ini termasuk dalam tingkat itsar yang paling tinggi.


3. Salamatus shadr. Menurut Imam Ghazali bahwa tingkatan ini adalah tingkat terendah bentuk cinta kerana Allah. Abdullah bin Umar bin ash dijamin masuk surga kerana menjelang tidur tidak pernah menyimpan masalah dengan kaum mukminin. Wala taj’al fi qulubina ghillan lillazdina amanu. Ghill di sini ertinya adalah ganjalan dalam hati yang belum diungkapkan. Sesama ikhwah harus memelihara perasaan, lapang dada, tidak mudah tersinggung, mudah memaafkan dan toleran. Yang didahulukan harus husnuz zhann (baik sangka). Mungkin saja bila saya yang berada dalam posisi yang sama sepertinya, saya juga akan berbuat serupa. Kalau ingin minum air yang sama sekali tidak mengandung kotoran, maka orang akan mati kehausan. Orang yang ingin mencari teman tanpa kesalahan sama sekali juga tidak akan mendapatkan teman.

Wallahu a’lam
Read more