1

Wanita Termulia Maharnya...Masih Ada Lagikah?

Artikel ini sengaja dipostkan untuk kawan-kawan yang ada mengirimkan email kepada saya bagi mengetahui lebih lanjut siapakah wanita yang menjadi julukan "wanita yang termulia maharnya.."...sekadar ingin mengingatkan kepada semua wanita bahawa kita kekurangan wanita seperti ummu sulaim dan sahabiah-sahabiah lain..kredibiliti mereka, akhlak mereka, dan keimanan mereka amat sukar ditiru/diteladani oleh golongan wanita masa kini..ummu sulaim merupakan contoh terbaik bagi menunjukkan kita bahawa cinta Allah itu lebih diutamakan berbanding cinta manusia apabila beliau meletakkan Islamnya Abu Thalhah sebagai mahar untuk perkahwinan mereka...silakan membaca...~

AL-GHUMAISHA’ BINTI MILHAN
UMMU SULAIM RADHIYALLAHU ‘ANHA



Oleh : Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Kita berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani, dan kita tidak mampu melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi dan mendapatkan khabar gembira (bahawa dia akan masuk) Syurga, sedangkan dia berjalan di permukaan bumi. Dari wanita inilah kita belajar kemuliaan, kesabaran, dan memberi sumbangsih di jalan agama ini. Ia adalah al-Ghumaisha' binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya: “Aku memasuki Syurga lalu aku mendangar suara, maka aku bertanya, ‘Siapakah ini?’ Mereka berkata, ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan, Ummu Anas bin Malik.’” [1] Bagaimana kisah Sahabiyah yang mulia ini?


Pertama : Mari Kita Dengar Kisah Pernikahannya

An-Nasa-i meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Abu Thalhah (datang) melamar, lalu Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang semisalmu, wahai Abu Thalhah, tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah pria kafir sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku menikahimu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan aku tidak meminta kepadamu selainnya. Kemudian dia masuk Islam, lalu hal itu menjadi maharnya.’ Tsabit berkata, ‘Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dibanding Ummu Sulaim, (maharnya) yaitu Islam.’” [2]

Kedua : Kesabarannya

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan Allah. [3]

Ketiga : Jihadnya Di Jalan Allah

Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa pada perang Hunain, Ummu Sulaim membawa pisau kecil. Senjata itu bersamanya. Ketika Abu Thalhah melihatnya, maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah! Ini adalah Ummu Sulaim, ia membawa pisau kecil.” Mengetahui hal itu, beliau bertanya, “Untuk apa pisau kecil ini?” Ia menjawab, “Aku membawanya; jika seorang dari kaum musyrik mendekat kepadaku, maka aku robek perutnya dengannya.” Mendengar hal itu beliau tertawa. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, akan kubunuh orang-orang yang masuk Islam setelah kita dari kalangan thulaqa' [4] yang melarikan diri darimu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ummu Sulaim, Allah telah mencukupi dan berbuat baik.” [5]

Keempat : Kemuliaannya Di Rumahnya

Kita masih membicarakan Sahabiyah mulia ini, dan kita akan mendengarkan tentang kemuliaannya di rumahnya dan pengetahuannya bahwa Allah Azza wa Jalla akan memberi ganti kepada orang-orang yang berinfak. [6]

Dalam Sahih al-Bukhari dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, “Aku telah mendengar suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lemah yang aku ketahui beliau sedang lapar; apakah engkau mempunyai sesuatu?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengeluarkan sejumlah roti yang terbuat dari gandum, kemudian mengeluarkan kerudungnya lalu membungkus roti tersebut dengan sebagiannya. Kemudian ia melilitkannya di bawah tanganku, lalu mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun pergi dan menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid bersama sejumlah orang. Ketika aku berada di hadapan mereka, beliau bertanya kepadaku, “Apakah Abu Thalhah mengutusmu?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Dengan membawa makanan?” Aku menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang bersamanya, “Berdirilah!” Beliau beranjak dan aku pun beranjak dari hadapan mereka hingga aku sampai kepada Abu Thalhah, lalu aku mengabarkan kepadanya. Abu Thalhah berkata, “Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang bersama sejumlah orang, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk menjamu mereka.” Ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Abu Thalhah pergi hingga bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. datang dan Abu Thalhah menyertainya, lalu beliau berkata, “Kemarilah wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau miliki?” Maka ia membawa roti tersebut.


Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. memerintahkan untuk membukanya, dan Ummu Sulaim membuat kuah untuk menguahinya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. mengatakan pada makanan itu apa yang hendak dikatakannya, kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang orang!” Maka makanan itu mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, lalu mereka keluar. Kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang!” Maka ia mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang. Lalu beliau bersabda, “Izinkahlah untuk sepuluh orang!” Maka ia menginzinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian mereka keluar. Selanjutnya beliau mengatakan, “Izinkan untuk sepuluh orang!” Kemudian mereka semua makan hingga kenyang. Mereka semua berjumlah 70 atau 80 orang. [7]


[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

__________
Foote Note
[1]. HR. Muslim (no. 2456) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 13102).
[2]. HR. An-Nasa-i (no. 3341) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i.
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5470) kitab al-‘Aqiiqah, Muslim (no. 2144), kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 11617).
[4]. Ath-thulaqa’ adalah orang-orang yang masuk Islam dari penduduk Makkah pada hari penaklukan Makkah. Mereka dinamakan demikian karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kebebasan kepada mereka, dan keislaman mereka sangatlah lemah. Oleh karena itu, Ummu Sulaim berkeyakinan bahwa mereka itu munafik yang berhak dibunuh karena mereka melarikan diri.
[5]. HR. Muslim (no. 1809) kitab al-Jihaad was Siyar, Abu Dawud (no. 3718) kitab al-Jihaad, Ahmad (no. 11698).
[6]. Fiqhut Ta’aamul Bainaz Zaujaini, al-'Adawi (hal. 100).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 3578) kitab al-Manaaqib, Muslim (no. 2040) kitab al-Asyribah, at-Tirmidzi (no. 3630) kitab al-Manaaqib, Ahmad (no. 13135), Malik (no. 1725) kitab al-Jaami’, ad-Darimi (no. 43), kitab al-Muqaddimah.

Read more